Hati


Bukan aku tak tahu, ajakanmu untuk bertemu, tidaklah semata untuk mengembalikan buku. Terindera sesuatu. Layaknya layar radar yang memperlihatkan objek tak dikenal. Asing. Misterius. Berbahaya.

"Tolong sampaikan pada Bang ... (menyebut nama seorang kawan) bahwa ...(menyebut nama diri) tidak bisa mengembalikan buku langsung. Besok harus berangkat pagi-pagi. Soalnya...blablabla..."

Kunikmati celotehmu yang takkan pernah usai. Karena kutahu, kau adalah pengabar segala perasaan dan pikiran yang baik, yang belum menemukan medium dan momen paling sempurna. Tapi kusediakan diri sebagai semesta tong sampah yang akan menampung segala kesahmu. Kusediakan diri. Tapi, hanya sebagai tong sampah. Bukan sebagai lanskap yang yang menipu kewaspadaanmu. Karena, kita bukan orang yang sama dengan kita yang enam tahun lalu. Kita telah menjadi sepasang manusia dewasa yang menyediakan diri terikat dalam kerangkeng norma-norma. Kita telah memilih. Kerap dunia tak menyediakan pilihan kedua. Ini memang tak adil. Tapi kita telah memilih. Kita telah memilih.

"Sering...(menyebut nama diri) berfikir, kenapa bukan Abang yang jadi pendamping hidup...(kembali menyebut nama diri)"

Upsss...! Dua hal yang kontradiktif bertubrukan dalam diriku. Satu, alaram yang melengking tajam menggetarkan seluruh syaraf. Dua, geletar paling rahasia purba menyentuh sesyaraf dengan sentuhan memabukkan.

+: "Jangan!!! Kau sudah memasuki pekarangan tabu!!!"
-: "Hoalahhh...Masa bodo! Ini kesempatanmu...kapan lagi?..."
+: "Masihkah kau ingat cerita Adam terusir dari Sorga?"
-: "Kau masih percaya agama?"
+: "Kau masih ingat cerita kotak pandora?"
-: "Hehe...itu cerita-cerita maskulin yang ingin mempertahankan dominasinya atas dunia!"
+: "Kau masih ingat lagu racun dunia?"
-: "Wakakakkkk...!!! Sudah kehabisan cara?
"

Aku menjelma pendulum. Ke kiri, ke kanan. Ke kiri, kemudian ke kanan.

-: "Begini. Jangan sok suci. Bukankan sejak kelahiran, kau sudah menangis, menjeritkan hasrat penyatuan? Ini adalah rahasia yang harus dijalani, bukan untuk dijelaskan. Tidakkah kau merasa nafasmu sudah mulai memberat? Ini tandanya kau sedang menyiapkan diri untuk sebuah ritual paling agung, prosesi mempertahankan kelangsungan kemanusiaan dirimu. Kenapa munafik. Bukankah ini mempesona? Rasakan. Hayati. Jangan menipu diri dengan rambu-rambu yang justru tidak memanusiakanmu. Rasakan. Hayati. Betapa tubuhmu mulai menghangat karena aliran darahmu bersiap memulai..."

+: "Jangan, Boss...Jangannnn..."


Aku mulai tidak seimbang...

-: "Jujurlah pada dirimu sendiri. Bukankah ini kesempatanmu menyatakan semua mimpi? Tidakkah kau lihat panggilan syahdu di matanya? Tidakkah kau cermati gerak-geriknya yang mengajakmu untuk turun ke gelanggang melakukan tarian sakral demi mencapai nirwana?"

Aku limbung...aku limbung...

-: "Kenapa kau masih menyombongkan diri sebagai orang paling moralis sejagat raya? Tidakkah kau menyakitinya sekarang? Kau menyiksanya! Kau tahu 'kan, ia sedang lapar dahaga? Kenapa tak kau penuhi? Lihat ia. Lihat! Ia memanggil dalam gigil hasrat. Dekati. Dekati. Sentuh pundaknya. Tatap matanya, sepasang jendela yang menuntunmu pada kemarau berabad-abad, yang telah mengeringkan sumur rahasia di dasar hatinya. Tak tergerakkah hatimu? Mana katamu kau mencintainya? Mana? Sekarang saatnya pembuktian segala statemen kalian berdua. Dekati sekarang. Dekati. Ucapkan kata-kata lembut, hangat, menggetarkan. Katakan kau pun bersedia menyamakan irama..."

Aku...

-: "Percayalah. Sekarang saatnya. Begitu kau dekati. Bersitatap. Menyamakan irama. Ia akan merebahkan diri didadamu. Menghangatkan diri. Mencari kekuatan. Mencari detak jantungmu. Ia akan tersenyum bahagia. Karena tahu, detak jantungmu, adalah simfoni yang melengkapi harmoninya..."

Ak...

-: "Ia akan terus tersenyum. Tengadah. Menatapmu. Ingin pernyataan lagi, yang akan menjadi mata air abadi bagi sumur rahasianya. Daratkan sebuah ciuman paling khusyuk di keningnya. Perlahan. Pasti. Saat persentuhan terjadi, rasakan pertautan segala indera. Kalian akan tenggelam. Saling melarutkan diri. Rasakan. Nikmati dengan khidmat. Sebab, inilah yang harusnya terjadi setelah pertemuan pertama kalian ribuan tahun silam..."

A...

"Entah kapan lagi kita akan bertemu..."

-: "Nah, kan? Cepatlah! Sekarang!"

...

(Image from: http://i228.photobucket.com/albums/ee107/lotuslightweddings/AhigherLOVE/love2.jpg)

0 comments:

My Blog

  • Oke tak Oke - Suatu malam, beberapa tahun lalu, di warung kopi BANDAR (https://goo.gl/maps/U7urgGqBvHP2) di jalan Danau Sentarum Pontianak, tak jauh dari kampus almama...
    5 years ago
  • Perjalanan ke Sepuk Laut 3 - Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah Jumat, 20 Februari 2009 Sebelum membuka tas kecil, mengambil buku agenda dan pulpan, aku mengambil ponsel. No Service. Demik...
    15 years ago
  • Perjalanan ke Sepuk Laut 3 - Jumat, 20 Februari 2009 Sebelum membuka tas kecil, mengambil buku agenda dan pulpan, aku mengambil ponsel. No Service. Demikian tertera di layar ponsel. An...
    15 years ago

Followers

About Me

My photo
Kata orang, saya adalah pemimpi. Kata orang, saya adalah "Sang Pemampir". Kata orang, saya adalah "Sang Penjelajah". Kata orang, saya baik. Kata orang, saya lucu. Kata orang, saya arogan. Kata orang, saya jahanam. Kata saya?